Sejarah Mobilitas Penduduk di Indonesia
17.49.00
Dalam perjalanan sejarah mobilitas yang diwarnai dengan
transmigrasi di Indonesia yang sudah mencapai satu abad, sejak mulai
dilaksanakan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905 hingga saat
ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang berbeda.
Walaupun secara demografis pengertian umum dari transmigrasi ini tetap sama
dari masa ke masa, yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat ke
wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya
didasarkan pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik
yang tertulis secara resmi maupun terselubung (Nugraha, 2009).
1. Masa Percobaan Kolonisasi
Sejarah transmigrasi di Indonesia dimulai sejak
dilaksanakannya kolonisasi oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1905.
Kebijakan kolonisasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi
oleh:
1) Pelaksanaan salah satu
program politik etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk pulau
Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.
2) Pemilikan tanah yang makin
sempit di pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan
taraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun.
3) Adanya kebutuhan pemerintah
kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah
perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa.
Politik etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan
mensejahterakan masyarakat petani yang telah dieksploitasi selama
dilaksanakannya culture stelsel (sistem tanam paksa). Sebab system tanam paksa
tersebut secara empirik telah menyebabkan orang-orang pribumi semakin
menderita. Dari sisi ekonomi, telah menyebabkan pula berubahnya sistem
perekonomian tradisional ke arah pola perekonomian baru (dualisme ekonomi) dan
bertambah miskinnya penduduk terutama masyarakat petani.
2. Periode Lampongsche
Volksbanks
Catatan akurat mengenai berapa banyak jumlah penduduk yang
dipindahkan pada periode ini masih perlu dicari. Data yang berasal dari
beberapa dokumen antara lain memperlihatkan antara tahun 1912-1922 jumlah
penduduk yang diberangkatkan ke daerah kolonisasi sebanyak 16.838 orang.
Kemudian pada tahun 1922 dibuka lagi pemukiman kolonisasi baru yang lebih besar
yang diberi nama Wonosobo di dekat Kota Agung Lampung Selatan serta pemukiman
kolonisasi dekat Sukadana di Lampung Tengah. Pemukiman yang lebih kecil dibuka
di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi.
Data yang lain menunjukkan sampai akhir tahun 1921 jumlah
penduduk asal Jawa di desa-desa kolonisasi Gedongtataan telah mencapai jumlah
19.572 orang. Ada juga yang menulis, antara tahun 1905-1929 jumlah orang Jawa
yang dipindahkan ke luar Jawa sudah mencapai angka 24.300 orang. Dengan
demikian jika dihitung berdasarkan jumlah orang yang diberangkatkan antara
tahun 1905-1911 sebanyak 4.800 orang, berarti antara tahun 1911-1929 pemerintah
kolonial Belanda telah memindahkan penduduk melalui program kolonisasi sekitar
19.500 orang.
Pada periode Lampongsche volksbank, pelaksanaan kolonisasi
belum dapat dikatakan berhasil, penyebabnya adalah perencanaan yang kurang
matang dan implementasi yang banyak menyimpang. Masalah tempat pemukiman,
pengairan, dan yang lainnya tidak direncanakan secara matang, sehingga menyebabkan
kerugian secara finansial. Kesehatan pemukim baru pun menjadi terabaikan,
berdampak pada tingkat mortalitas penduduk di pemukiman kolonisasi menjadi
tinggi. Walaupun pemerintah kolonial Belanda memiliki konsep, bahwa daerah
tujuan kolonisasi harus memiliki suasana sosial budaya dan system pertanian
yang hampir sama dengan daerah asal. Namun faktanya daerah yang telah
dipersiapkan tersebut tidak memenuhi kriteria. Sistem irigasi yang dibuat tidak
memadai, demikian juga prasarana transportasi, sehingga banyak pemukim baru
yang tidak betah, dan kembali ke Jawa. Dalam perekrutan calon peserta
kolonisasi, pemerintah member instruksi kepada lurah-lurah yang diberi target
untuk mengirimkansejumlah orang ke daerah kolonisasi. Sistem seleksi yang
diatur oleh lurah menjadikan mereka mudah mengatur untuk menyingkirkan
orangorang tidak disukai karena dianggap saingan atau lawan politik lurah. Cara
rekruitmen demikian menyebabkan orang tidak siap untuk memulai kehidupan di
daerah tujuan kolonisasi.
Sejalan dengan pencanangan kolonisasi, perkebunan-perkebunan
di Sumatera Timur mengalami kemajuan. Hal ini berdampak pada pelaksanaan
kolonisasi, karena ada persaingan antara calo tenaga kerja dengan petugas
kolonisasi yang diberi target untuk mencari orang sebagai peserta kolonisasi.
Isu yang dikembangkan oleh calo tenaga kerja adalah hal-hal negatif tentang
kolonisasi, agar penduduk Jawa lebih tertarik untuk menjadi kuli kontrak di
perkebunan Sumatera. Pada akhirnya orang-orang di pulau Jawa sendiri lebih
tertarik menjadi kuli kontrak ketimbang ikut kolonisasi, sebab dianggap lebih
menguntungkan secara ekonomi. Ada dugaan pemerintah kolonial Belanda menjadi
tidak terlalu serius menangani kolonisasi, setelah melihat fenomena banyaknya
orang Jawa yang tertarik untuk menjadi kuli kontrak pada perkebunanperkebunan
di Sumatera Timur. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Belanda sendiri,
dalam melaksanakan kolonisasi ini memiliki tujuan yang terselubung yaitu untuk
mendukung penyediaan tenaga kerja murah bagi perkebunan-perkebunan tanaman
eksport dalam rangka mendukung perkembangan ekonominya. Artinya program
kolonisasi ini dianggap menjadi tidak penting, manakala sudah banyak penduduk
Jawa yang tertarik untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera (Nugraha, 2009).
3. Jaman Depresi Ekonomi Dunia
Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa
untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi
ekonomi dunia. Himpitan kesulitan hidup di Jawa telah mendorong mereka secara
mandiri dan sukarela bermigrasi ke Sumatera. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan
pemerintah kolonial Belanda mengubah kebijakan kolonisasi.
Pada masa peralihan antara tahun 1927- 1930 pemerintah hanya
menyediakan biaya transportasi untuk mereka yang mengikuti program kolonisasi.
Depresi ekonomi yang terus berlanjut telah berpengaruh terhadap perekonomian
pemerintah kolonial Belanda. Permintaan tenaga kerja dari perkebunan-perkebunan
di Sumatera menjadi kurang, bahkan sebagian mengurangi tenaga kerjanya,
sehingga banyak kuli kontrak yang kembali ke pulau Jawa. Pemerintah Belanda
mulai merasa perlu mengintensifkan kembali kolonisasi. Pemerintah memperketat
persyaratan untuk mengikuti kolonisasi yaitu:
a. Peserta harus
benar-benar petani, sebab jika bukan dapat menyebabkan ketidakberhasilan di
lokasi kolonisasi
b. Fisik harus kuat agar bisa
bekerja keras
c. Harus muda untuk
menurunkan fertilitas di pulau Jawa
d. Sudah berkeluarga
untuk menjamin ketertiban di lokasi baru
e. Tidak memiliki anak
kecil dan banyak anak karena akan menjadi beban
f. Bukan bekas kuli
kontrak karena dianggap sebagai propokator yang akan menimbulkan keresahan di
pemukiman baru
g. Harus waspada
terhadap “perkawinan koloniasai” sebagai sumber keributan
h. Jika wanita tidak sedang
hamil karena diperlukan tenaganya pada tahun-tahun pertama bermukim di tempat
baru
i. Jika bujangan
harus menikah terlebih dahulu di Jawa karena dikhawatirkan mengganggu istri
orang lain.
j. Peraturan
tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat desa ikut kolonisasi.
Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh
pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia sementara
minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya
merubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan system bawon. Pemukim
kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan
prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Pemekaran daerah kolonisasi baru
dibuat tidak jauh dari kolonisasi lama.
Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret
saat menjelang musim panen padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut
bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan
perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh
atau lima bagian pemilik. Pada saat itu sistem bawon di pulau Jawa umumnya
menggunakan perbandingan 1:10. Peserta kolonisasi mandiri pada periode ini
boleh dikatakan lebih berhasil dibandingkan dengan peserta sebelumnya, walaupun
masih ada beberapa yang kembali ke pulau Jawa. Kondisi demikian, memberikan
daya tarik pada masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi. Akhirnya dikembangkan
daerah kolonisasi baru di Palembang, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi,
dan Kalimantan.
Walaupun pada pelaksanaan kolonisasi periode ini jumlah
penduduk yang dipindahkan dari pulau Jawa ke daerah kolonisasi cukup banyak
dibandingkan dengan periode sebelumnya, namun kalau dilihat dari aspek
pengendalian penduduk pulau Jawa belum bisa disebut berhasil. Pendapat ahli
kependudukan Belanda pada saat itu, jika ingin mengendalikan penduduk Jawa,
penduduk yang dipindahlan harus mencapai 80.000 keluarga per tahun. Pemerintah
kolonial Belanda sampai menjelang akhir masa kekuasaannya, hanya mampu memindahkan
penduduk pulau Jawa kurang dari seperlima dari target yang diharapkan per
tahunnya. Data lain menunjukkan antara tahun 1905-1941 penduduk yang berhasil
dipindahkan hanya berjumlah 189.938 orang. Akan tetapi jika dilihat dari aspek
peningkatan kesejahteraan peserta kolonisasi, mereka mungkin dapat disebut
lebih baik tingkat kehidupannya dibandingkan pada saat berada di daerah asalnya
(Nugraha, 2009).
4. Transmigrasi Masa
Pendudukan Jepang
Sejak tahun 1942 susunan pemerintahan di Lampung mengalami perubahan
dengan perginya pejabat-pejabat kolonial Belanda dari Binnenlands Bestuur.
Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, kegiatan transmigrasi tetap
dilaksanakan. Akan tetapi karena sibuk dengan peperangan, rupanya penguasa
Jepang tidak sempat melakukan pengadministrasian kegiatan transmigrasi seperti
halnya pada jaman pemerintah kolonial Belanda, sehingga sangat sedikit
dokumentasi mengenai transmigrasi yang bisa ditemukan.
Diperkirakan selama kekuasaan Jepang, penduduk pulau Jawa
yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui transmigrasi sekitar 2.000
orang. Tidak hanya di bidang transmigrasi, kondisi kependudukan yang parah
dimulai ketika tentara Jepang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan
Belanda. Pada periode ini kondisi perekonomian di Indonesia sangat buruk.
Beberapa komoditi seperti tekstil, alat-alat pertanian, bahan pangan menghilang
dari pasaran. Terjadi pula mobilisasi tenaga kerja (romusha) untuk dipekerjakan
di perkebunanperkebunan dan proyek-proyek pertahanan Jepang, baik di dalam maupun
di luar negeri.
5. Transmigrasi Setelah
Kemerdekaan
Sudrajat (2006) mengungkapkan ada 3 masa setelah
kemerdekaan, yaitu: masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi.
a. Masa Orde Lama
Ketika baru merdeka dari penjajahan Jepang, di Indonesia
masih terjadi gejolak politik, sehingga permasalahan kepadatan penduduk masih
terabaikan. Baru tahun 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia
untuk mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh A.
H. D. Tambunan. Walaupun telah terbentuk kepanitiaan, keputusan yang menyangkut
masalah transmigrasi baru diambil pada tahun 1950. Bulan Desember 1950
merupakan awal mula pemberangkatan transmigran di jaman kemerdekaan ke Sumatera
Selatan. Pelaksananya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi yang berada di bawah
Kementrian Sosial. Pada tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang
digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama Depertemen Transmigrasi dan
Koperasi.
Pada masa ini, selain tujuan demografis, tujuan lainnya
tidak jelas. Namun Presiden Soekarno sendiri tidak fokus pada kelebihan
penduduk Jawa, tetapi hanya melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau
Jawa dan luar Jawa. Akan tetapi di kemudian hari yaitu seperti tercantum pada
Undang-undang No. 20/1960 jelas terbaca, bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk
meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat
rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Target pemindahan penduduk pada jaman orde
lama dinilai sangat ambisius dan tidak realistis, dimana sasaran “Rencana 35
Tahun Tambunan” adalah mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka 31
juta jiwa pada tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun
1952. Pada kenyataannya antara tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil
memindahkan transmigran sebanyak 227.360 orang.31 Revisi target transmigran
sebenarnya telah dilakukan dengan yang lebih realistis. Selama lima tahun,
antara tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2 juta
orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun
selanjutnya, yaitu antara tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi
tergetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun.
Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan
Transmigrasi Gaya Baru pada musyawarah nasional gerakan transmigrasi yang
diselenggarakan pada bulan Desember 1964. Konsepnya memindahkan kelebihan
fertilitas total yang diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun.
Pada kebijakan ini, muncul pula ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya,
artinya transmigran baru ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah
dilakukan pada jaman Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan,
membangun rumah, dan membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah
tidak terlampau besar. Minat penduduk pulau Jawa untuk ikut transmigrasi pada
periode ini cukup tinggi. Bahkan mereka mau berangkat ke daerah transmigran
atas biaya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Di tempat tujuan mereka cukup melapor
untuk memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya. Pada jaman orde
lama, ada pengkategorian transmigrasi, sehingga dikenal istilah transmigrasi
umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri, dan transmigrasi
spontan. Dalam sistem transmigrasi umum segala keperluan transmigran, sejak
pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga
menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta
alat-alat pertanian.
Transmigrasi keluarga merupakan merupakan sistem
transmigrasi beruntun, artinya jika ada keluarga transmigran ingin mengajak
keluarganya yang masih tinggal di pulau Jawa untuk tinggal di daerah
transmigrasi, maka transmigran lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan
transmigran baru. Sistem ini tidak jalan, karena terlalumemberatkan peserta
transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959. Transmigrasi biaya
sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian
berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri, setelah sampai di lokasi mereka
mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigran umum. Sedangkan transmigrasi
spontan selain menanggung sendiri ongkos ke lokasi, mereka pun harus mengurus
sendiri keberangkatannya. Di tempat tujuan baru mereka lapor untuk mendapatkan
lahan di daerah yang telah ditentukan.
b. Masa Orde Baru
Pada jaman orde baru, tujuan utama transmigrasi tidak
sematamata memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa, namun ada
penekanan pada tujuan memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada
pangan. Pembukaan daerah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi, bahkan sampai ke Papua. Tahun 1965-1969, belum
ditentukan target jumlah transmigran yang harus dipindahkan. Bahkan terkesan belum
begitu perhatian terhadap progran transmigrasi. Daerah transmigran seperti
Lampung, Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali menerima
transmigran, pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari total
transmigran yang diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar 25
persen, sisanya ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua. Jika pada
masa orde lama dikenal empat katagori transmigrasi, pada periode ini hanya
dikenal dua kategori yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi spontan.
Pada transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir
perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, ongkos ongkos semua ditanggung
peserta. Sementara transmigrasi spontan, semua ongkos ditanggung pemerintah,
dan di lokasi memperoleh lahan seluah dua hektar, rumah, dan alat-alat
pertanian, serta biaya selama 12 bulan pertama untuk di daerah tegalan, dan 8
bulan pertama di daerah pesawahan menjadi tanggungan pemerintah. Jumlah seluruh
transmigran yang berhasil dipindahkan pada periode ini sebanyak 182.414 orang
atau sekitar 52.421 keluarga. Masih pada jaman orde baru, tepatnya tahun 1974
ketika Gunung Merapi meletus, ada kejadian seluruh warga desa diikutsertakan
dalam program transmigrasi, di lokasi baru mereka menempati daerah yang sama. Dari
kejadian inilah kemudian muncul istilah transmigrasi bedol desa.
Pada periode rencana pembangunan lima tahun (repelita) ke-2
antara tahunn 1974-1979, konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam
pembangunan nasional. Dalam kerangka pembangunan nasional tersebut,
transmigrasi diharapapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang
ekonomi, sosial, maupun budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi
eksport. Produksi pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai
cita-cita pembangunan.35 Selain itu mulai tercetus pemikiran untuk
mengembangkan daerah tujuan semenarik mungkin, sehingga akan banyak penduduk
yang tertarik untuk pindah dari pulau Jawa dengan biaya mandiri tanpa
tergantung pada pemerintah. Target transmigrasi pada repelita ke-2 adalah
memberangkatkan 50 ribu keluarga atau 250 ribu orang per tahun, atau jika
dihitung selama selama lima tahun, transmigran yang harus diberangkatan
sebanyak 1,25 juta orang. Target yang tidak realistis tersebut pada tahun 1976
dikurangi menjadi 108 ribu keluarga selama lima tahun, sedangkan realisasinya
pemerintah hanya mampu memberangkatkan sebanyak 204 ribu orang atau sekitar 16
persen dari target yang dicanangkan.
Masa selanjutnya, pada repelita ke-3 (1979-1983) ada
penekanan yang lebih mendalam terhadap kepentingan pertahanan dan keamanan.
Pelaksanaan transmigrasi spontan lebih didorong lagi dengan mengembangkan
kegiatan ekonomi di luar pulau Jawa guna menarik minat calon transmigran.
Target pemindahan transmigran sebanyak 250 ribu keluarga dapat dicapai, bahkan
terlampaui sebanyak dua kali lipat. Pemerintah berhasil memberangkatkan
sebanyak 500 ribu keluarga. Mengingat keberhasilan pada repelita ke-3, maka
pada repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan lagi menjadi 750 ribu keluarga
atau 3,75 juta orang. Pada akhir bulan Oktober 1985 telah berhasil
diberangkatkan sebanyak 350.606 keluarga atau 1.163.771 orang. Pada periode ini
diintroduksi konsep tentang pelestarian lingkungan, sehingga transmigrasi juga
diberi misi agar bisa memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan
memelihara lingkungan hidup.
c. Masa Reformasi
Jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program
transmigrasi, terus meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun demikian tetap
tidak bisa mengejar bertambahnya jumlah penduduk di pulau Jawa. Sebab
fertilitas di pulau Jawa jauh melebihi angka penduduk yang dapat dipindahkan ke
luar pulau Jawa. Dengan demikian, jika dilihat dari aspek demografis yang
dikaitkan dengan pengurangan penduduk di pulau Jawa, program transmigrasi ini
tidak mencapai sasarannya. Diakui pula oleh Departemen Transmigrasi dan
Pemukiman Perambah Hutan, bahwa pelaksanaan transmigrasi yang telah
dilaksanakan hingga jaman orde baru belum memberikan pengaruh yang merata, baik
ditinjau dari sisi mikro yaitu tingkat perkembangan UPT/Desa, maupun makro
yaitu pada percepatan pertumbuhan wilayah. Pembangunan transmigrasi pun belum
berhasil menjadi pendorong pembangunan, karena belum dapat memberikan
kontribusi yang optimal dalam pembangunan wilayah. Mengingat kondisi seperti di
atas, perlu dicari paradigma baru dalam pembangunan transmigrasi. Paradigma
baru yang sudah jauh berbeda dengan paradigma lama, terjadi dengan
dikeluarkannya Undangundang No. 5/1997. Pelaksanaan transmigrasi tidak lagi
difokuskan pada pemecahan masalah persebaran penduduk, yang selama 90 tahun
terakhir memang tidak berhasil dipecahkan, namun bergeser pada pengembangan
ekonomi dan pembangunan daerah. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa
tujuan transmigrasi adalah:
1) untuk meingkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar,
2) meningkatkan pemerataan
pembangunan daerah, dan
3) memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa.
Melalui tujuannya itu diharapkan rakyat Indonesia yang
berada di luar the circular flow of income dalam sistem ekonomi nasional bisa
lebih cepat mencapai tingkat kesejahteraannya. Terjadinya ketimpangan akibat
strategi industrialisasi yang terlalu bertumpu di pulau Jawa yang telah
menyebabkan ketimpangan antar daerah dapat dikurangi. Gejala disintegrasi dan
separatis memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat termasuk dari pihak
Departemen Transmigrasi dan PPH.
Penyempurnaan pelaksanaan transmigrasi yang diperlukan
antara lain, agar transmigrasi diupayakan secara merata di wilayah tanah air,
dan pemukiman transmigran tidak merupakan enclave serta memiliki keterkaitan
fungsional dengan kawasan di sekitarnya. Berbagai kelompok etnis harus berbaur
dalam kebhinekaan, penduduk setempat juga harus mendapat perhatian yang sama, dengan
tujuan untuk meredam potensi konflik antara pendatang dan penduduk asli. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah, maka pemerintah daerah akan memiliki tanggung
jawab dan wewenang yang lebih besar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di daerahnya masing-masing. Sehingga, pembangunan transmigrasi
harus adiletakan pada kerangka pembangunan daerah yang selanjutnya harus dapat
dijabarkan dalam program-program transmigrasi.
Berdasarkan pada penjelasan di atas visi transmigrasi ke
depan adalah “mewujudkan komunitas baru yang merupakan hasil integrasi harmonis
antara penduduk setempat dan masyarakat pendatang, yang sejahtera serta dapat
tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan”. Adapun misinya adalah
“engisi pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan
pendatang, serta sesuai dengan rencana pembangunan daerah dan rencana
pembangunan nasional”. Misi di atas dilakukan melalui konsep pengembangan
wilayah dan pengembangan masyarakat, antara lain dengan upaya peningkatan
pembangunan daerah dalam rangka mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
yang ada, dan mewujudkan agropolitan baru sebagi pusat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, dilakukan pendekatan kultural dengan memperhatikan sistem nilai dan
perilaku serta adatistiadat masyarakat setempat, sehingga pembangunan
transmigrasi tidak lagi bersifat eksklusif dalam kehidupan siklis, melainkan
melalui berbagai teknik pembauran.
Konsep manajemen pembangunan transmigrasi yang dijalankan
antara lain, pembangunan transmigrasi yang reformis tidak lagi menekankan pada
target pemindahan transmigran, melainkan pada pencapaian pertumbuhan
kesejahteraan transmigran yang dikaitkan dengan kemampuan daya beli dari
transmigran yang paling miskin dengan ukuran keberhasilan minimal transmigran
terhadap kebutuhan dasarnya. Selain itu, menjadikan transmigrasi sebagai suatu
kebutuhan yang diminta oleh masyarakat setempat, dunia usaha, dan pemerintah
daerah.
0 komentar